Senandung Musim Gugur

Seharusnya kamu sudah di sini sebulan yang lalu. Menemaniku melewati hari-hari yang dingin. Sebab bersamamu suasana menjadi hangat kala udara di sekitar begitu dingin. Aku tahu sekarang bukanlah musim dingin. Akan datang saatnya musim dingin ketika musim gugur ini berakhir. Saat ini memang musim gugur. Tapi bagiku dinginnya musim gugur terasa lebih menggigit hingga ke tulang. Sebab teriknya musim panas masih terasa hingga kemarin. Beda dengan musim dingin. Di saat musim dingin tubuh kita telah terbiasa dengan dinginnya musim gugur. Kulit dan darah kita sudah belajar menghadapi dingin dari musim gugur.

Ya. Seharusnya hari ini kamu sudah memelukku sambil menikmati tiupan angin musim gugur di pohon aspen di belakang rumah kita. Dan secangkir kopi yang kita minum berdua akan menambah kehangatan tubuh kita. Tapi nyatanya tidak. Aku masih tetap sendiri di sini. Dan kamu masih berada di sebuah negeri yang nun jauh di sana. Di Timur Tengah. Aku sendiri tak punya gambaran seperti apa negeri yang kamu datangi. Yang aku tahu pada bulan-bulan seperti ini suhu di sana bisa mencapai delapan puluh farenheit. Cukup untuk menghangatkan tubuhmu tanpa aku.

Aku tahu kamu ke sana tidak untuk berlibur. Juga bukan untuk bekerja. Kamu ke sana untuk sebuah tujuan yang kamu sebut pengabdian. Kamu bilang ini sebagai bentuk pengabdianmu pada negara. Mereka bilang ini adalah misi kemanusiaan. Entah mana yang benar. Aku tak terlalu mengerti. Apapun alasannya mereka telah menjauhkan kamu dariku. Membiarkanku sendiri di dalam dingin dan sunyinya musim gugur.

“Kita menghadapi musuh baru, yaitu terorisme. Dan kita, bangsa Amerika, mempunyai hak untuk mempertahankan kemerdekaan kita. Kita tidak akan menghadapi para teroris di sini. Kita akan melawannya di tempat di mana ia dilahirkan.” begitu isi pidato Presiden ketika melepas keberangkatanmu.

Tentu aku bisa mengerti bahwa terorisme harus diperangi. Memang tidak boleh ada sekelompok orang yang menebarkan ancaman kepada orang-orang yang menginginkan perdamaian. Sebab bumi ini diciptakan untuk kita semua. Bukan hanya untuk satu bangsa, tapi untuk semua bangsa. Bukan hanya untuk satu penganut agama, tapi untuk semua manusia. Yang aku tidak mengerti kenapa harus ke sana. Kenapa tidak di sini saja? Apakah hanya orang-orang bersurban dan berjenggot saja yang bisa menciptakan terror? Apakah orang-orang seperti kita yang berkulit putih dan bermata biru tak mungkin berbuat serupa? Tentu tidak. Sama sekali tidak.

Aku kira kamu belum mendengar kabar ini. Dua hari yang lalu, di sekolah dasar beberapa mil dari rumah kita, belasan anak sekolah mati bersimbah darah oleh terjangan peluru. Ya, anak-anak sekolah dasar. Anak-anak yang seharusnya disayangi dan dididik agar menjadi manusia yang lebih baik. Dan tahukah kamu siapa pelakunya? Andai kamu kuberitahu, kuharap itu tidak membuatmu menyesal telah menempuh jarak ribuan mil untuk membasmi para teroris. Ya, pelakunya adalah bangsa kita sendiri. Seorang berkulit putih bermata biru. Seorang guru di sekolah tersebut.

Ah, meski mereka tak mengatakannya aku tahu bahwa perang bukan soal menciptakan perdamaian. Sebab perang itu sendiri bukanlah jalan yang damai. Bagi mereka para pembuat senjata perang adalah alat untuk memenuhi target penjualan, mengeruk laba untuk mengganti sumbangan kampanye yang mereka keluarkan setiap empat tahun. Sesederhana itu. Karena itu perang harus diciptakan. Agar pabrik senjata tetap berproduksi, para buruh tetap bekerja dan negara tetap mendapatkan pajak. Dan setiap kali aku memikirkan ini aku teringat kamu. Yang hanya menjadi korban para pencari laba yang berdiri di atas nama nasionalisme dan kemanusiaan.

“Aku akan kembali sebelum daun terakhir di pohon aspen di belakang rumah kita gugur.” begitu ucapmu sebelum kamu melangkahkan kaki meninggalkanku kala itu.

Bagiku kata-kata itu bukan hanya sebuah harapan, melainkan janji. Dan aku selalu percaya akan janjimu. Bertahun-tahun aku mengenalmu belum pernah sekalipun kamu ingkar janji. Pun juga kali ini. Aku masih percaya kamu akan menepati janjimu. Kamu tidak akan ingkar janji. Kamu hanya terlambat memenuhinya. Itupun bukan keinginanmu. Negara telah memaksamu untuk tinggal lebih lama di sana. Negara telah mengingkari janjinya untuk mengembalikanmu tepat pada waktunya. Meski bukan kali ini saja negara mengingkari janjinya. Tapi yang ini memang sangat mengecewakan. Sebab kamu adalah satu-satunya milikku.

Dan rasa kecewaku terasa begitu menyakitkan sebab dibumbui oleh rasa cemas. Aku begitu cemas melihat hanya tersisa satu helai daun di pohon aspen di belakang rumah kita. Itu terjadi minggu lalu ketika badai melanda di pagi yang buta. Memang ada peringatan lembaga pengamat cuaca beberapa hari sebelumnya. Namun yang terjadi lebih dahsyat dari yang diperkirakan. Tiupan badai pada pohon aspen di belakang rumah kita melagukan sebuah senandung yang menyayat. Senandung musim gugur.

Hari-hari setelah itu adalah hari yang paling menakutkan. Dan pagi hari adalah saat di mana ketakutanku mencapai puncaknya. Aku tidak takut seandainya matahari tidak terbit di pagi hari. Sebab aku tidak sendiri. Semua orang akan merasakan gelapnya. Namun aku begitu takut andai daun terakhir di pohon aspen di belakang rumah kita itu gugur. Sebab hanya aku yang akan menderita karenanya. Akulah satu-satunya orang yang kehilangan kamu.

Badai itu telah mengubah kebiasaan pagiku. Biasanya hal pertama yang kulakukan setiap pagi adalah menyalakan televisi. Mencari kanal berita barangkali ada kabar kamu kembali. Meski televisi di kamar tidur kita itu sudah berumur, aku tidak berniat menggantinya. Itu televisi yang pertama kita beli dengan gaji pertamamu. Televisi itulah yang aku sentuh pertama kali setelah bangun di pagi hari. Itu sebelum badai itu datang. Tapi tidak sesudahnya. Senandung musim gugur seminggu yang lalu itu melupakanku akan televisi di pagi hari. Yang kulakukan setiap pagi sekarang adalah membuka tirai jendela, memandang ke pohon aspen di belakang rumah dan memastikan masih ada sehelai daun terakhir di sana.

Pagi ini aku bangun terlambat. Semalam aku tertidur setelah larut. Aku begitu gelisah memikirkanmu. Entah apa sebabnya. Aku hanya gelisah. Dan itu membuatku tertidur dengan televisi yang masih menyala. Dan pagi ini televisi yang menyala itu membuatku menangis. Bukan karena aku menyesal telah lupa mematikannya. Tapi karena televisi yang menyala itu telah melupakanku pada daun terakhir di pohon aspen di belakang rumah kita. Sebuah berita di televisi itu merenggut perhatianku. Sebuah kabar tentang kamu. Sayang sekali bukan kabar kepulanganmu, tapi kabar tentang mereka yang tak bisa pulang. Aku lihat namamu di dalam daftar itu. Daftar tentara yang gugur.

Aku tak kuasa lagi mendengar kabar tentang kamu di televisi itu. Tubuhku menjadi lemas. Hatiku begitu pedih bagai tersayat. Aku berharap berita itu bohong. Aku beranjak menuju jendela. Kubuka tirai dan kulihat pohon aspen di belakang rumah kita. Sehelai daun terakhir itu telah gugur.

 

Lembah Rocky Mountain,

Oktober 2013

*Cerpen ini termasuk salah satu cerpen di Buku Kumpulan Cerpen Kampung UGM yang diterbitkan pada tahun 2014 dengan judul “Melukis Surga”

1383720_10200615884455287_1060735878_n

Leave a comment